Reforma
agraria bukanlah isu baru bagi rakyat Indonesia, di era 1960-an isu ini lebih
dikenal dengan nama Landreform dan dituduh sebagai sebuah gerakan komunis pada
saat itu. Membicarakan landreform atau reforma agraria bukanlah membahas
komunis atau bukan komunis, konsep ideal reforma agraria yang pernah ada di
Indonesia—UUPA 1960 & UUPBH, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Perpres No. 36/2005—
sebenarnya mengandung sebuah nilai yang sangat mulia yaitu mensejahterakan
kehidupan rakyat.
UUPA
1960 yang disusun oleh Panitia 11 (sebut saja begitu, karena terdiri dari
perwakilan 10 ormas tani dan seorang dari Departemen Agraria), berhasil
menghancurkan dua produk kolonial Belanda (Domein Verklaring& Agrarische
Wet) dari bumi Indonesia. UUPA 1960 adalah sebuah produk dalam negeri yang
diproses oleh dewan legislatif dengan rujukan UUD 1945 pasal 33 yang mana
disebutkan bahwa Negara menguasai tanah, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
Carut
marutnya kondisi ekonomi dan politik Indonesia di era 1960-an, menjadikan
pelaksanaan landreform tidak berjalan sebagai mana mestinya. Landreform yang di
jalankan setengah hati oleh beberapa golongan menumbuhkan benih-benih konflik
di lapisan masyarakat pedesaan. Isu-isu landreform di era 1960-an juga di
gunakan sebagai alat pembenaran genoside sepanjang tahun 1965 sampai dengan
tahun 1967.
Belajar
dari pengalaman historis(mungkin), pemerintah negeri ini mengeluarkan produk
baru dengan nama TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan Perpres No. 36/2005. Lagi-lagi
sebuah konsep yang ideal tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber
Daya Alam. Seharusnya konsep ini tidak hanya berakhir pada tataran teoritis dan
habis setelah menjadi wacana publik. Konsep ini akan semakin ideal apabila
pemerintah dengan serius menjalankannya dan bisa dirasakan hasilnya oleh rakyat
di negeri ini.
Banyak
hal yang bisa kita rumuskan dari beberapa kasus dan kondisi terbaru tentang
gagasan reforma agrarian dewasa ini. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah antara lain: pertama, pembagian tanah bagi rakyat yang tidak
memiliki mata pencaharian khusunya di daerah pedesaan. Disini perlu
diperhatiakan bahwa tanah-tanah yang di bagikan untuk rakyat adalah tanah-tanah
yang produktif dan tidak bermasalah (sengketa) dengan pihak lain.
Kedua,
pemerintah harus sadar bahwa pemberian sertifikat oleh pejabat terkait bukanlah
sebuah solusi akhir bagi rakyat. Pemerintah paling tidak bisa membentuk sebuah
kelompok tani di daerah tersebut guna mengolah tanah yang telah di
sertifikatkan tadi secara bersama-sama demi kemakmuran anggota kelompok
tersebut. Selain sebagai sumber mata pencaharian yang berkelanjutan, kelompok
tani ini juga sebagai pengawas agar tanah yang telah disertifikatkan tidak di jual
atau di gadaikan. Sebab apabila tanah-tanah tadi dijual atau digadaikan maka
rakyat dimungkinkan akan kembali miskin.
Reforma
agraria yang digulirkan oleh pemerintah tentunya juga mencakup aspek-aspek
pemberdayaan masyarakat pemilik tanah, dalam artian bahwa pemerintah juga
memberikan bantuan permodalan, pemeliharaan dan menjamin kesejahteraan dengan
cara memberikan atau membantu mencarikan pasar untuk memasarkan hasil pertanian
dari kelompok tersebut. Hal ini tentunya juga harus ada pemahaman bersama antara
kelompok tani tersebut dengan aparatur terkait seperti BPN.
Apabila
reforma agraria benar-benar di jalankan oleh pemerintah negeri ini, maka amanat
pada UUD 1945 tentang menciptakan kemakmuran bagi rakyat dapat terwujud. Sudah
saatnya Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara konsisten. Reforma agraria
adalah alat untuk kembali memberdayakan rakyat bukan memperdaya rakyat!!!!.
Angky
B. Putrantyo